Yahudi Israel, Al Quds dan Dunia Islam.

 


Oleh : Siska Widya Az., S.P.

Al Quds, merupakan salah satu kota tertua di dunia, sehingga disebut dengan kota kuno (Al-Baldah Al-Qadimah). Sebuah wilayah sangat strategis ; berada di antara tiga benua (Asia, Afrika dan Eropa) dan di tengah negeri-negeri Arab. Terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Mediteranea dan Laut Mati. 

Bangsa Kan'an memberinya nama Yord Saleem, Bani Israil (keturunan Nabi Ya'qub) menyebutnya Ursyalem, ketika mereka datang dari Mesir ke Palestina. Nama Al-Quds tidak dikenal pada masa lampau. Dulu dinamakan Aelia. Orang kafir Makkah menyebutnya Illiya. Nama Al-Quds muncul pada masa Khalifah Al-Ma’mun dari Bani Abbasiyah. Setelah itu, nama Baitul Maqdis dipakai untuk nama Kota Al-Quds. Bahkan, kawasan yang mengelilingi kota suci ini pun tak jarang disebut dengan Baitul Maqdis.

Pentingnya Al Quds (Baitul Maqdis).

1. Bahwa Allah menyatakan dalam al Qur’an bahwa Baitul Maqdis adalah tempat yang diberkahi. "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya”. (QS. Al Isra’: 1)

Al Quds adalah daerah sekitar Masjidil Aqsha, itu sebabnya diberkahi.

2. Allah Ta’ala menjadikannya tempat suci dalam firman-Nya melalui lisan Nabi Musa as. : “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu”. (QS. Al Maidah: 21)

3. Didalamnya terdapat Masjidil Aqsha, mendirikan shalat di sana sama dengan 250 kali shalat. Dari Abu Dzar ra. berkata : Ketika kami berada di majelis Rasulullah saw. ada yang bertanya : Mana yang lebih utama Masjid Rasulullah atau Baitul Maqdis? 

Rasulullah saw. bersabda : “Mendirikan shalat di masjidku lebih baik dari 4 kali shalat di dalamnya, dan alangkah baiknya orang yang shalat tersebut. Hampir saja seseorang mendapatkan tanah seperti panjangnya tali kekang kudanya dengan melihat Baitul Maqdis : Lebih baik baginya dari pada dunia semuanya”. (HR. al Hakim, 4/509, Dishahihkan dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan al Baani dalam “As Silsilah ash Shahihah” diakhir pembahasan hadits nomor: 2902)

Shalat di Masjid Nabawi sama dengan 1000 kali shalat, dan di Masjidil Aqsha sama dengan 250 kali shalat.

4. Bahwa Si Mata Satu Dajjal tidak mampu memasuki Baitul Maqdis, berdasarkan hadits : “…Bahwasanya (Dajjal) akan muncul di muka bumi semuanya kecuali di Masjidil Haram dan Baitul Maqdis”. (HR. Ahmad 19775, dan dishahikan oleh Ibnu Khuzaimah: 2/327 dan Ibnu Hibban: 7/102)

5. Dajjal terbunuh didekat Baitul Maqdis, dibunuh oleh Nabi Isa bin Maryam as. sebagaimana yang disebutkan dalam hadits : “Ibnu Maryam akan membunuh Dajjal di pintu “Ludd”. (HR. Muslim 2937 dari hadits an Nuwas bin Sam’an)

“Ludd” adalah tempat dekat dengan Baitul Maqdis.

6. Bahwa Rasulullah saw. diperjalankan malam hari dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, Allah Ta’ala berfirman : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”. (QS. al Isra’: 1)

7. Baitul Maqdis adalah qiblat pertama umat Islam, sebagaimana hadits Bara’ ra. bahwa Rasulullah saw. shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan”. (HR. Bukhori 41, dan Muslim 525).

8. Bahwa di sana tempat turunnya wahyu dan kota para Nabi, hal ini sudah tidak asing lagi.

9. Adalah termasuk salah satu dari tiga masjid yang dibolehkan untuk bersengaja pergi kesana (dengan niat ibadah). Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda : “Tidak boleh bersengaja bepergian kecuali kepada tiga masjid: Al Masjidil Haram, dan Masjid Rasulullah saw dan Masjidil Aqsha”. (HR. Bukhori 1132, dan Muslim  827, dari hadits Abi Sa’id al Khudri’, dengan redaksi: “Janganlah kalian bersengeja melakukan perjalanan kecuali…”).

Tidak boleh melakukan safar ke daerah tertentu dengan tujuan ibadah, kecuali pada tiga masjid tersebut.

Klaim Yahudi Atas Al Quds. 

Kaum Zionis Yahudi senantiasa mengaku, bahwa mereka punya hak teologis dan historis (sejarah) atas tanah Palestina. Klaim teologis dan historis itu merujuk pada teks-teks Perjanjian Lama (Alkitab Ibrani).  

Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat (Kitab Kejadian 15 : 18)

Berkatalah Yusuf kepada saudara-saudaranya: "Tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub." (Kejadian 50 : 24)

Bukan saja Aku telah mengadakan perjanjian-Ku dengan mereka untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan, tempat mereka tinggal sebagai orang asing, (Kitab Keluaran 6 : 3)

Teks dari kitab ini dijadikan sebagai argumentasi politis oleh tokoh-tokoh Zionis sebagai satu-satunya negara Yahudi di dunia. Misalnya, Golda Meir (Perdana Menteri Israel ke-4) menyatakan, “Negeri ini sebagai buah janji Tuhan. Adalah menggelikan apabila masih dipertanyakan keabsahan legitimasinya”. Manachem Begin (Perdana Menteri Israel ke-6) juga menyatakan, “Negeri ini dijanjikan untuk kita, dan kita punya hak atasnya."

Selain klaim teologis, Israel juga sering menggunakan klaim historis. Bahwa bangsa Israel merupakan penguasa asli Tanah Palestina, yang kemudian diusir dan berusaha kembali ke kampung halamannya. 

 Menurut Gideon Shimoni, hampir seluruh pemikir Zionis mengakui konsep "Historical Right" (Hak Sejarah) bagi bangsa Israel atas tanah Palestina. Rumusan awal atas klaim historis ini disusun oleh Moshe Leib Lilienblum (seorang penulis Yahudi) pada 1882, "Kami memiliki hak historis (untuk Eretz Israel)* yang tidak hilang dan juga tidak hilang dengan hilangnya kedaulatan kami, sama seperti hak negara-negara Balkan atas tanah mereka, tidak hilang dengan hilangnya kedaulatan mereka".

Bantahan Para Pakar Atas Klaim Teologis dan Historis.

Beberapa kalangan telah membongkar kepalsuan atas klaim teologis maupun historis ini. Bantahan paling mendasar diungkap oleh David F. Hinson yang menulis buku “Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab”. Menurutnya, berbagai cerita mengenai Israel dalam Perjanjian Lama bukanlah suatu cerita sejarah, melainkan hanya legenda. Cerita-cerita ini bukanlah laporan yang ditulis segera setelah peristiwa itu terjadi, tetapi baru ditulis beberapa abad kemudian setelah Abraham (Nabi Ibrahim as.) meninggal dunia, tanpa “sanad” dan “periwayatan” yang jelas.

Dewey Beegle, seorang profesor Perjanjian Lama dari Wesley Theological Seminary di Washington D.C. justru menyangkal klaim teologis tersebut. Sebagai ahli Injil, menurutnya bangsa Yahudi tidak memiliki hak atas janji Tuhan tersebut, karena mereka tidak berhasil mematuhi perintah-perintah Tuhan. Kalangan lain yang juga menentang klaim ini adalah para Rabi dari Jerman, yang berpandangan bahwa mendirikan negara Yahudi di Palestina bertentangan dengan janji Messianik Yudaisme.

Mengutip pendapat Charles Foster Kent dalam A History of The Hebrew People, sejarawan Mesir Ahmad Syalaby mencatat bahwa bangsa Phoenik adalah yang pertama kali mendatangi kawasan Palestina, sekitar 3.000 SM. Kedatangan mereka disusul oleh kabilah Kanaan (2500 SM), dan kemudian datang kabilah Palestin dari Pulau Creta (1200 SM). 

Dr. Yusuf Qaradhawy di dalam bukunya “Palestina, Masalah Kita Bersama” (Alkautsar, 1998), dengan tegas menyatakan jika klaim Yahudi atas hak historis Tanah Palestina merupakan satu klaim yang didasari bertumpuk-tumpuk kedustaan besar. “Sejarah mencatat, yang pertama kali membangun kota Al Quds (Yerusalem) adalah suku bangsa Yabus, salah satu kabilah Arab kuno yang meninggalkan semenanjung Jazirah Arab bersama suku Kan’an. Hal tersebut terjadi sejak 30 abad (3000 tahun) sebelum masehi."

"Setelah itu bangsa Kan’an dan yang lainnya mulai mendiami Al-Quds dan Palestina secara umum selama berabad-abad, sampai kedatangan Ibrahim as. yang hijrah dari tanah airnya Iraq, sebagai orang asing. Ibrahim as. memasuki Palestina bersama isterinya, Sarah, pada usia 75 tahun sebagaimana yang disebutkan dalam pasal-pasal Perjanjian Lama. Ketika ia mencapai usia 100 tahun, lahirlah Ishaq as. (Kejadian: 12). Ibrahim as. wafat pada usianya yang ke-175 tahun dan tidak pernah memiliki Tanah Palestina walau hanya sejengkal. Sehingga saat isterinya, Sarah, meninggal, dia harus meminta kepada bangsa Palestina tempat untuk menguburkannya.” (Kejadian: 23)

“Ketika Ishaq as. berusia 60 tahun, lahirlah Ya’qub as. Ishaq as. meninggal di usia 180 tahun dan tidak memiliki sejengkal pun Tanah Palestina. Setelah kematian ayahnya, Ya’qub as. pindah ke Mesir dan wafat di sana di usia yang ke-147 tahun. Ia berusia 130 tahun ketika memasuki Mesir dan anak cucunya ketika itu berjumlah 70 jiwa (Kejadian: 46). Ini berarti masa dimana Ibrahim, Ishaq puteranya dan Ya’qub cucunya hidup di Palestina adalah 230 tahun. Mereka di sana sebagai orang asing, pendatang, yang tidak memiliki sejengkal pun Tanah Palestina,” tegas Dr. Qaradhawy.

Taurat menyebutkan bahwa masa dimana Bani Israil hidup di Mesir hingga keluar oleh Musa as. adalah 430 tahun. Dr. Qaradhawy mengutip Syaikh Abdul Mu’iz Abdus Sattar yang memberikan komentar dalam bukunya "Telah Tiba Janji Kebenaran, Wahai Yahudi" dengan mengatakan, “Andai dijumlahkan seluruh tahun di mana Bani Israel hidup berperang dan menghancurkan di Palestina, tidak akan bisa menyamai masa yang dilalui Inggris di India, atau pun Belanda di Indonesia. Maka jika masa seperti itu memliki hak sejarah, sudah pasti Inggris dan Belanda akan menuntut hal serupa, seperti Israel.”

Seandainya kepemilikan tanah bisa disebabkan lamanya waktu tinggal di pengasingan, maka lebih tepat bagi mereka untuk menuntut kepemilkan atas Mesir yang mereka diami selama 430 tahun sebagai pengganti Palestina yang didiami Ibrahim dan anak-anaknya selama 200-an tahun.

Klaim bangsa Yahudi atas Palestina juga mendapat kritik keras dari Paul Findley (Penulis dan Politikus AS) dan Roger Garaudy (Politikus dan Filsuf asal Perancis). Dalam catatan sejarah, bangsa Yahudi bukanlah penduduk pertama di Palestina. Inilah bukti kebohongan klaim kaum Yahudi atas Tanah Palestina.

Langkah Zionis Yahudi Mewujudkan Negara Israel.  

Saat Palestina diserbu oleh tentara Romawi yang dipimpin Kaisar Titus pada tahun 70 M, penguasa Romawi ini melarang orang Yahudi menginjakkan kakinya di Palestina. Menyebarlah kaum Yahudi ke seluruh bumi (Diaspora). Hal ini disebabkan orang-orang Romawi mengetahui jika watak dan karakter asli kaum Yahudi adalah selalu merusak, berkhianat, dan sebab itu sama sekali tidak bisa dipercaya. Ketika Uskup Copernicus, Uskup kota Al Quds, hendak menyerahkan kunci kota kepada Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Khattab ra. saat futuh Yerusalem, Uskup tersebut meminta satu syarat kepada Umar ra., agar tidak pernah mengizinkan kaum Yahudi memasuki Aelia atau Yerusalem ini. 

Zionisme adalah suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi. Kata Zionisme merujuk kepada batu bangunan Haikal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama “Zion”, di sebelah barat-daya Al Quds. 

Istilah Zionisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum. Zionisme Internasional yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika Serikat dideklarasikan di Philadelphia. Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Yerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Yerusalem menjadi marak dan meluas. 

Tulisan Moses Hess berbahasa Jerman, berjudul "Roma und Jerusalem" (1862), memuat pemikiran awal kerja sama dan konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya. Buku ini mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karena beberapa pertimbangan ;

Pertama, adanya konfrontasi antara Eropa dengan Daulah Utsmaniyah Turki di Timur Tengah.

Kedua, bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu "bastion" (benteng pertahanan) politik yang kuat di Timur Tengah dan ketika kebutuhan itu muncul orang Yahudi menawarkan diri secara sukarela untuk menjadi proxi (wakil/perantara) negara-negara Eropa. 

Ketiga, kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum Yahudi untuk kembali ke Palestina. 

Keempat, gerakan Zionisme akan berfungsi membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa.

Gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa syarat dari Mayer Amschel Rothschild (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi paling kaya di dunia. Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri Inggris), Herbert Sidebotham (Tokoh Militer Inggris), dll.

Zionisme sebagai suatu gerakan politik -berkedok agama- memperlihatkan konsepnya yang jelas dituangkan dalam buku "Der Judenstaat" (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904).

Penghalang utama cita-cita Yahudi adalah Khilafah Ustmaniyah, yang menjadi penjaga setia tanah Palestina. Berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Khilafah, agar dapat memasuki Palestina.

Herzl mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid II, menawarkan kepadanya pinjaman sebesar dua puluh juta Poundsterling, sebagai imbalan untuk mengizinkan orang Yahudi berimigrasi ke Palestina, dan memberi mereka sebidang tanah.

Maka Sultan Abdul Hamid II mengirim surat penolakannya melalui perantara kawan dekat Hertzl, Neolanski. “Nasehati sahabat dekatmu, Hertzl agar dia tidak mengambil langkah-langkah baru dalam perkara ini. Sebab saya sama sekali tidak bisa melepaskan kendati satu jengkal tanah saja di antara tanah-tanah suci Palestina. Karena negeri Palestina, bukanlah milikku, tetapi bumi Palestina adalah milik bangsaku (Dunia Islam). Nenek moyang saya telah melakukan peperangan untuk mendapatkan tanah ini dan telah mengalirinya dengan darah-darah mereka. Silahkan orang-orang Yahudi  menggenggam jutaan uang mereka. Jika negaraku tercabik-cabik, maka bisa jadi mereka mendapatkan Palestina dengan tanpa ganti (gratis). Tetapi dia harus memulai terlebih dahulu untuk mencabik-cabik mayat kami. Namun, saya tidak akan menerima jasad saya dicabik-cabik, sedangkan saya masih hidup."

Zionis kemudian mengadakan Konferensi I Basel di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Kekhilafahan Utsmaniy.

Gencarnya aktivitas Yahudi Zionis akhirnya Khalifah pada tahun 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas jamaah peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal disana lebih dari tiga bulan, paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas Khilafah terkait. Dan pada tahun 1901 Khalifah mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya berusaha menghadap Sultan Abdul Hamid II. Penawaran yang disodorkan Hertzl kepada Sultan adalah :

150 juta poundsterling Inggris khusus untuk Sultan.
Membayar semua hutang pemerintah Ustmaniyah yang mencapai 33 juta poundsterling Inggris.
Membangun kapal induk untuk menjaga pemerintah, dengan biaya 120 juta Frank.
Memberi pinjaman 5 juta Poundsterling tanpa bunga.

Membangun Universitas Ustmaniyah di Palestina.

Sultan menyadari bahwa Herzl menyuapnya untuk mendirikan "rumah nasional" bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Begitu mereka menjadi mayoritas di sana, mereka akan menuntut otonomi dengan mengandalkan negara-negara Eropa. Maka Sultan mengusir Herzl “dengan cara yang kejam” menurut sejarawan. Bagi Sultan, selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.

Herzl meninggal pada tahun 1904. Tapi keinginannya untuk mendirikan negara Yahudi di atas tanah Palestina tak ikut mati bersama jasadnya. Dibantu oleh Barat, Zionisme Internasional bekerja sama dengan gerakan Turki Muda untuk memuluskan rencananya itu. Di tahun 1909, Sultan Abdul Hamid II akhirnya digulingkan melalui Revolusi Turki Muda. “Pencopotanku disebabkan karena aku bersikeras melarang Yahudi, sementara Yahudi bersikeras mendirikan tanah air mereka di atas tanah suci (Palestina),” tulis Sultan dalam catatan hariannya seperti dikutip dalam Buku Memoar Sultan Abdul Hamid II.

Dalam Perang Dunia Pertama, negara-negara Eropa dan Zionis memanfaatkan kelemahan Utsmaniyah yang sudah dalam kekacauan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Para Zionis sesegera mungkin melanjutkan siasatnya dengan meminta dukungan internasional. Lewat lobi politisi Yahudi melalui Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour dan Lionel Walter Rothschild, seorang bankir besar sekaligus tokoh berpengaruh Yahudi, akhirnya di umumkan Deklarasi Balfour, 2 November 1917. Inggris mempersilahkan bangsa Yahudi dari seluruh dunia untuk bermigrasi ke Palestina dan membuat pemukimannya disana. 

Rencana Yahudi semakin mulus dengan adanya perjanjian Sykes-Picot, sebagai buntut kekalahan Daulah Utsmani pada Perang Dunia pertama. Wilayah kaum Muslimin dipecah-pecah oleh negara-negara imperialis, dan menjadikan kaum Muslimin meneruskan hidup dalam keterjajahan. Puncaknya ditahun 1948, negara Israel akhirnya resmi didirikan, dan akibat yang ditimbulkan dari berdirinya negara itu adalah konflik berkepanjangan seperti sebuah "never ending story" hingga hari ini.

Kekuatan Global Dibalik Zionis Israel.

"Sungguh, kami telah berada di pihak Israel sejak berdirinya dan kami akan selalu bersama Israel sepanjang sejarahnya.”  (Collin Powel, Mantan Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat.

Mengapa Israel-AS bergandeng tangan? Karena ambisi Zionis terhadap Palestina sejalan dengan ambisi negara-negara imperialis.

Serupa dengan Inggris, Amerika Serikat menggunakan Israel sebagai sumber konflik di Timur Tengah. Ketidakstabilan akibat konflik inilah yang dijadikan alasan bagi AS untuk masuk ke Timur Tengah dan menanamkan pengaruhnya di sana. Dengan konflik ini juga, akan menyedot energi dan dana umat Islam, mengaburkan fakta bahwa AS adalah musuh sejati mereka, dan mengalihkan upaya kaum muslimin dalam menegakkan Khilafah. 

Selain konflik, Charles Lipson (Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Chicago), dalam artikelnya yang berjudul, “American Support for Israel: History, Source, Limits.” menyatakan bahwa kepentingan AS di Timur Tengah adalah termasuk mengamankan aliran minyak dari Teluk Persia, memperlambat proliferasi nuklir, dan membantu negara-negara sahabat dalam menghadapi gerakan fundamentalis (yang hari ini lebih kita kenal dengan radikalis/ekstrimis).

Kepentingan AS terhadap minyak Timur Tengah tampak pada dokumen Luar Negeri AS tahun 1944 yang menggambarkan Semenanjung Arabia sebagai “Suatu sumber besar bagi kekuasaan strategis dan hadiah material terbesar dalam sejarah dunia.” Maka, siapa saja yang dapat mengendalikan minyak, sejatinya ia memiliki sarana untuk menguasai dunia.

Satu Solusi Atas Palestina.

Kebutuhan mendasar rakyat Palestina saat ini adalah militer. Namun, dari 50 negeri Muslim, tak ada satu pun Penguasa yang mengirimkan tentaranya. Mereka hanya mampu mengecam tindakan Israel atas Palestina, yang sama sekali tak membuat takut Israel.

Sebenarnya, tak ada alasan bagi umat Muslim untuk takut pada Israel, pun AS sebagai pendukungnya. Meski saat ini industri militer dunia Islam dalam keadaan mundur, namun secara kuantitas potensi militer dunia Islam sungguh sangat besar. Satu persen saja dari semiliar penduduk Dunia Islam, akan ada 10 juta tentara muslim yang siap membela kaum Muslimin. 

Namun penggabungan potensi militer ini terhalang sekat nasionalisme yang mengakar kuat dalam benak umat. Maka urgen untuk mencabut sekat-sekat kenegaraan ini. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan para Khalifah selanjutnya, dengan menghimpun seluruh wilayah Muslim dalam satu kepemimpinan, Khilafah Islamiyah.

Saat itulah seruan jihad dalam satu komando akan terwujud. Puluhan juta tentara muslim dari seluruh wilayah di bawah naungan Khilafah akan mampu mengusir tentara Israel. Bahkan, induk yang memberinya makan saat ini (AS) akan dengan mudah terkalahkan. Sungguh, hal demikian tidaklah mustahil. Allah Swt. berjanji bahwa Islam akan kembali memimpin dunia, InsyaAllah.

Wallahu a'lamu.

Bogor, 1 Juni 2021 (Dikutip dari berbagai sumber).

-------------------------------------------------------------------

*Istilah Eretz Yisrael digunakan oleh orang Yahudi yang religius untuk wilayah yang disebut Palestina.



Maraji' / Kepustakaan :

Dr. Ali Muhammad Ash Shallabi, 2018, Sultan Abdul Hamid II, AQWAM, Solo-Indonesia.

Z.A. Maulani, 2002, Zionisme - Gerakan Menaklukkan Dunia, Penertbit Daseta (Pdf).

https://www.adianhusaini.id/detailpost/klaim-teologis-dan-historis-yahudi-atas-palestina

https://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/klaim-historis-israel-atas-palestina.htm

https://literasiislam.com/

https://www.muslimahnews.com/2019/12/02/solusi-hakiki-konflik-palestina-hanyalah-jihad-dan-khilafah/

https://pastipanji.wordpress.com/2009/01/05/sejarah-berdirinya-negara-israel/

https://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_Terjanji

============================


Komentar

Postingan Populer