Omnibus Law, Tujuan dan Kenyataan Jauh Panggang Dari Api? 

 by @siskaibnataz

Di Awal 2020 ini, Omnibus Law seperti "seleb" kontroversial. Jadi pembahasan di kalangan buruh, politisi, praktisi hingga akademisi. Mayoritas menolak Omnibus Law ini.

Omnibus Law, dari bahasa Latin yang artinya for everything, "untuk semuanya". Satu regulasi bisa menghapus/membatalkan sekian banyak UU yang telah berlaku. Ada yang menyebutnya sebagai UU sapu jagat, satu mencakup semuanya.

Menurut Jokowi, Omnibus Law sebagai suatu “jurus” untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia lewat tersedianya kemudahan investasi. Saat ini Omnibus Law mengarah pada tiga sasaran, yaitu Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), Perpajakan, dan UMKM Draft RUU Cipta Lapangan Kerja sudah diserahkan ke DPR 12 Februari lalu. Diantara cakupannya yaitu terkait perizinan investasi, syarat investasi dan ketenagakerjaan.

Banyak kalangan menolak RUU ini terutama kalangan buruh. Mereka menganggapnya hanya menguntungkan pengusaha/investor dan mengabaikan kesejahteraan buruh. Karena dalam RUU ini memungkinkan adanya pengurangan nilai upah dan pesangon. Di sisi lain, memungkinkan pengusaha menambah jam kerja tanpa ada upah lembur. Demo Akbar pun akan mereka gelar secara serentak pada 23 Maret nanti di Jakarta dan daerah-daerah lainnya sebagai wujud penolakannya.

Para politisi dan praktisi hukum mengkritisi draft ini karena Peraturan Pemerintah bisa mencabut Undang-Undang. Pasal 170 Ayat 1 BAB XIII RUU Omnibus Cipta Kerja, "Kepala Negara memiliki kewenangan mencabut UU melalui PP dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja." Padahal UU di atas PP. Tidak boleh PP mencabut atau mengubah peraturan di atasnya (UU). Bila ini di sahkan akan memungkinkan pemerintah pusat bersifat otoriter sesuai kepentingannya.

Pasal lain yang juga menjadi sorotan publik yakni terkait kebijakan impor. Pasal 66 angka 2 RUU Omnibus Law menyebut, "Sumber penyediaan Pangan berasal dari Pangan Dalam Negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan."

Padahal menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 yang berlaku saat ini, impor dilakukan bila produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Seperti dikutip dari Pasal 36 ayat (2) UU 18/2012, "Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi."

Bila pemerintah mensejajarkan impor dengan sumber pengadaan pangan dalam negeri, dimana letak perlindungan terhadap produksi-produksi rakyat? Belum lagi bila pengawasan negara lemah, produk-produk non halal bahkan berbahaya bisa beredar di tengah umat yang mayoritas muslim ini.

Ini hanya sejumput fakta yang memperjelas watak asli ideologi Kapitalis. Sesuai dengan namanya Kapitalis, dari kata capital yaitu pemilik modal. Pengusaha lah yang sejatinya berkuasa. Kekuatan modalnya bisa memerintah penguasa. Mengharapkan kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata di bawah payung Ideologi Kapitalisme, hanyalah fatamorgana. 

Bila umat ini kembali memposisikan Islam ideologis sebagai rujukan tatanan kehidupan, tentulah akan terlepas dari belenggu kesempitan dan tekanan hidup, insyaAllah. Karena Islam autentik dari Kalam Pencipta manusia, Allah Subhanahu wa Ta 'ala. __________________

Gambar : nasional.tempo.co

Komentar

Postingan Populer